Selasa, 11 Oktober 2011

kemacetan dijakarta

Sejarah transportasi kota Jakarta bermula dari sebuah pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan dari kerajaan Pajajaran. Sebelumnya merupakan milik kerajaan Tarumanegara yang dipakai untuk transportasi barang-barang dagangan dengan pedagang-pedagang dari India dan Cina. Sejak dulu Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang cukup strategis dan ramai. Maka tidak heran sejak dulu arus transportasi sudah sedemikian padat di pelabuhan ini.
Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Oleh karena itu dibangunlah pelabuhan baru di daerah Tanjung Priok sekitar 15 km kearah timur dari pelabuhan Sunda Kalapa. Untuk memperlancar arus barang maka dibangun juga jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia – Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya. Dari sejarah diatas bisa diambil kesimpulan bahwa sejak dulu kota Jakarta merupakan kota dengan arus perpindahan barang maupun orang yang cukup padat. Infrastruktur dasar perkotaannya pun merupakan infrastrukur transportasi seperti pelabuhan dan jalur kereta api.
Perkembangan tranportasi kota Jakarta pun memasuki babak baru ketika daerah-daerah pemukiman muncul didaerah sekitar pelabuhan. Mulailah muncul jalan-jalan penghubung di daerah sekitar pelabuhan. Hingga zaman sebelum kemerdekaan, Jakarta sudah berubah menjadi sebuah kota yang modern yang kala itu bernama Batavia. Pada saat itu, tahun 1943 sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ada angkutan massal yang disebut Zidosha Sokyoku (ZS). Jangan membayangkan bentuk kendaraan yang bermesin, angkutan tersebut berupa sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi, bahkan ketika keadaan serba sulit karena peran sapi penariknya justru disembelih untuk dimakan. Selain itu sejak tahun 1910, Jakarta sudah mempunyai jaringan trem. Trem adalah kereta dalam kota yang digerakkan oleh mesin uap. Trem merupakan angkutan massal pertama yang ada di Jakarta. Ketika itu jaringan trem di Jakarta sudah melayani arus perpindahan dari pelabuhan hingga Kampung Melayu. Sampai saat ini peninggalan jejak trem di Jakarta masih bisa kita lihat diantaranya di Museum Fatahillah serta di Jembatan bekas trem yang melintas sungai Ciliwung di daerah Raden Saleh atau Dipo trem yang sekarang ditempati PPD sebagai dipo di daerah Salemba. Dapat disimpulkan ketika itu transportasi massal menjadi pilihan utama masyarakat untuk berpergian di dalam kota.
Kebijakan mulai beralih kepada penggunaan kendaraan pribadi sejak taun 1960-an ketika presiden Sukarno memerintahkan penghapusan trem dari Jakarta dengan alasan bahwa trem sudah tidak cocok lagi untuk kota sebesar Jakarta. Sayangnya ketika trem dihapus, sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang ‘progresif revolusioner’ berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi dengan Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme). Tidak heran bus-bus yang beroperasi di Jakarta berasal dari Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus. Akan tetapi, karena jumlahnya tidak banyak, opletlah yang mendominasi angkutan di Jakarta. Sampai-sampai beroperasi ke jalan-jalan protokol, di samping becak untuk jarak dekat. Waktu itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari kayu yang dirakit di dalam negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan 1950-an, seperti merek Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta juga disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung dengan jari.
Kemudian pada tahun 1970an terjadi peningkatan jumlah kendaraaan secara signifikan di Jakarta. Terjadilah revolusi transportasi yang melanda Jakarta. Masyarakat berlomba-lomba untuk memiliki kendaraaan pribadi. Seakan-akan belum menjadi orang kaya jika belum mempunyai mobil pribadi. Ditunjang oleh sistem pengkreditan yang luar biasa mudah, membuat masyarakat berlomba-lomba memiliki mobil pribadi. Pemerintah pun seakan mendukung program ‘pembelian kendaraan pribadi’ ini. Jalan-jalan utama diperlebar, jalur-jalur ditambah, dan kebijakan-kebijakan lain yang semakin memanjakan penggunaan mobil pribadi. Akumulasi akibat dari kebijakan ini adalah keadaan Jakarta seperti sekarang. Dimana kapasitas jalan sudah tidak mampu lagi menampung arus kendaraan yang melintas diatasnya sementara pertumbuhan pemilikan kendaraan tetap saja tinggi.
Kota Jakarta secara historis telah mendapatkan warisan infrastruktur angkutan umum masal dari pemerintah kolonial Belanda. Sejak zaman kolonial hingga sekitar 1960, tramway menjadi sarana angkutan umum yang nyaman dan cepat serta penopang pergerakan orang di Kota Jakarta. Namun, lambat laun moda angkutan tersebut hilang dari tanah Jakarta. Dari situ, tampak kebijakan pengembangan infrastruktur transportasi di Kota Jakarta telah bergeser. Andai orientasi pengembangan tetap dalam koridor angkutan umum masal, tentu saja pengoperasian tramway tidak dihapus begitu saja. Infrastruktur tramway itu kemudian diganti dengan pembangunan dan pengembangan jaringan jalan yang masif.
Pada akhirnya, pengembangan jaringan jalan di Jakarta terhambat dan saat ini rasio luas wilayah atau panjang jalan di Jakarta hanya 3-4 persen. Rasio tersebut jauh dari kondisi ideal, yaitu 10-15 persen (Pola Transportasi Makro Jakarta, 2004). Sedangkan pertumbuhan kendaraan pribadi naik setiap tahun dengan kisaran 10 persen. Ketidakseimbangan itu menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan parah di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar